Minggu, 04 November 2018

SANDAL KIAI Oleh Abd. Wafi


Menjelang Subuh, lantunan tarhim bergema dari masjid jamik pondok pesantren Al-Huda. Lengking bel berdering panjang. Pertanda, sudah waktunya para santri bersaharul layali (1).
            “Istaiqidzu, istaiqidzu! (2)
Karim dan sekian pengurus pesantren yang lain, dengan sebilah bambu kecil dan senter di tangannya, mengitari sepanjang deret asrama santri.
“Sur’ah ilal hammam! (3)
Hendri salah satu pengurus bagian takmir dan peribadatan yang bertugas sebagai pemukul beduk, dikejutkan dengan kondisi beduk yang tiba-tiba bolong. “Masya Allah!” sergahnya. “Bagaimana bisa? Ini pasti ulah santri.” geram Hendri.
Hanif selaku takmir yang bertugas sebagai muazin melantunkan azan sedikit lambat dari biasanya, karena ia menunggu gema beduk bertalu, yang ternyata pagi itu bolong.
Di masjid jamik pondok pesantren Al-Huda, salat jamaah Subuh berlangsung khusyuk. Kiai Abdullah selaku pengasuh di pesantren Al-Huda itu, selain hafiz, beliau juga dijuluki sebagai Kiai pemilik suara Daud, karena setiap beliau lantunkan ayat al-Qur’an, terutama saat menjadi imam salat, terdengar begitu syahdu, bergetar menyentuh kalbu, membuat sekujur tubuh merinding.
Terlebih ketika salat jamaah Subuh, beliau istikamah melantunkan surah al-Qiyamah yang di dalamnya bercerita tentang kondisi saat menjelang dan berlangsungnya hari kiamat. Suara merdu Kiai Abdullah akan terdengar sedikit serak dengan diiringi dengung sesenggukan dan derai air mata yang tak lagi kuasa tertambatkan.
Hendri sengaja tidak ikut salat jamaah Subuh pagi itu. Ia menemui Karim, selaku pengurus bagian keamanan. Ia melaporkan peristiwa yang menimpanya pagi itu. “Rupanya ada santri yang mulai berani membangkang, Ustaz.”
“Ada apa?” sambut Karim.
“Beduk di masjid, b-b-bolong, Ustaz.” Hendri menyampaikannya dengan sedikit gugup.
Tidak sedikit memang orang-orang ketika bicara di hadapan Karim akan terlihat gugup. Entahlah? Apa mungkin karena Karim adalah pengurus yang dipercaya sebagai keamanan? Karena menurut ceritanya, santri yang dipercaya sebagai keamanan di pondok pesantren Al-Huda, apalagi Kiai sendiri yang memilihnya. Dan memang suatu kebetulan bagi Karim, ia hanya dapat beberapa hari mondok, langsung dipercaya sebagai keamanan oleh Kiai Abdullah.
Karim juga mendapatkan ijazah amalan langsung dari Kiai Abdullah, karena beliau selain terkenal kemerduan suaranya, beliau juga masyhur dengan ketinggian hisib(4)nya. Dan Karim adalah satu-satunya santri yang mendapatkan amalan itu. Pantaslah, siapa pun yang bicara di hadapan Karim, paling tidak mereka akan sedikit kikuk dan gugup. Begitu pula Hendri, walau secara kedudukan, ia sama-sama pengurus di pesantren itu.       
“Saya akan selidiki siapa pelakunya.”
“Baik, Ustaz.” Hendri bergegas meninggalkan Karim.
***
Pagi itu, di masjid jamik pondok pesantren Al-Huda sedang berlangsung pengajian kitab Riyadus Shalihin, kitab ini adalah satu-satunya kitab yang diampu langsung oleh Kiai Abdullah. Dan kitab ini merupakan kitab kesukaan Kiai Abdullah, karena menurutnya, kitab tersebut adalah kitab yang berisi kumpulan hikmah dan tuntunan akhlakul karimah sebagaimana yang diperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari Nabi.
Itulah salah satu alasan kesenangan Kiai Abdullah terhadap kitab yang diampunya itu, bahkan beliau sudah mengampunya berpuluh-puluh tahun lamanya. Beliau juga sangat istikamah mengamalkan isinya. Itu terlihat pada keseharian Kiai Abdullah, walau beliau oleh kebanyakan orang dikenal dengan watak kerasnya, tapi beliau sebenarnya sangatlah lemah lembut dan sederhana.
Pernah suatu hari, Kiai Abdullah menghadiri undangan Maulid Nabi. Pada undangan itu, rupanya bukan hanya Kiai Abdullah yang dari kalangan Kiai. Tapi saat itu berkumpullah para Kiai besar, dari berbagai pesantren besar. Setelah semua undangan selesai menunaikan ramah-tamah, Kiai Abdullah tiba-tiba meminta plastik pada tuan rumah saat itu.
“Ada plastik?”
“Ada, Kiai.”
“Ambilkan satu!”
Kiai Abdullah mengemasi sisa-sisa nasi yang tersisa di piring para undangan. Lalu beliau membungkusnya dengan plastik.
“Sisa nasi ini akan saya bawa pulang, mohon keikhlasannya!”
Para Kiai yang lain saat itu banyak yang terkagum-kagum. Ada juga yang bersungut-sungut, karena merasa tersindir dengan apa yang telah dilakukan oleh Kiai Abdullah.
Dalam kesederhanaan yang lain, yang juga begitu masyhur di kalangan santri dan orang-orang di sekitar, beliau tidak pernah membeda-bedakan status sesama. Itu terbukti ketika beliau diundang untuk sebuah hajatan atau dalam kegiatan yang lain, beliau pasti datang tepat waktu, dan pasti datang paling awal. Dan yang paling terkesan bagi santri dan orang-orang, beliau sangatlah tawaduk, bahkan pada yang lebih muda sekalipun.
Bel pertanda jam pengajian kitab berakhir, lima belas menit lagi akan berdering. Karim masih mengitari asrama santri, kelihatannya ia sangat marah dengan perbuatan santri yang dilaporkan Hendri, pengurus bagian takmir itu.
Tepat di depan kamar blok A satu, pintu kamar tersebut tertutup rapat. Seakan terkunci. Sementara pintu kamar yang lain, karena saat itu adalah jam kegiatan berlangsung tentu dalam keadaan terbuka. Karim menghampiri kamar itu, firasat Karim membenarkan pasti ada santri di dalam. Karim mencoba membuka pintu kamar tersebut. Terkunci. Karim mengetuknya, beberapa kali. Tidak ada reaksi. Karim terpaksa mendobraknya.
“Bangun!” untung saja Karim masih bisa mengendalikan diri, walau sebenarnya ia sangat emosi.
“Bangun!” lanjutnya.
“Buaas!” setelah perintah ketigakalinya, karena santri itu tak kunjung menggubrisnya, Karim menyambarnya dengan air.
Bel pertanda pengajian kitab berakhir sudah lima menit yang lalu berdering.
***
            Kala itu salat jamaah Maghrib di masjid jamik pesantren Al-Huda baru saja rampung ditegakkan. Para santri melanjutkan dengan pembacaan ayatul hirzi (5). Sebuah amalan rutin di pesantren itu. Sementara di ruang keamanan, Karim sangat dijenuhkan dengan persoalan santri yang tak kunjung terselesaikan. 
“Benarkah saudara yang bernama Hamid?”
            “Benar, Ustaz.”
            Wajah Karim terlihat mulai geram.
            “Saya hanya ingin saudara jujur, mohon diakui apa saja kesalahan saudara yang telah dilakukan di pesantren ini?”
            Santri itu hanya melempar pandangannya pada Karim. Ia Memilih diam.
            “Apa saudara dengar pertanyaan saya dari tadi?”
Karim meninggikan suaranya dan menatap lekat santri itu. Baru santri itu, satu-satunya orang yang terlihat dengan raut wajah biasa-biasa saja di hadapan Karim. Padahal, Karim adalah salah satu pengurus bagian keamanan yang sangat disegani di pesantren Al-Huda. Bahkan terkadang bola mata santri itu diam-diam masih berani melempar pandangan geram pada wajah Karim.
            “Saya hanya ingin saudara jujur. Apa benar saudara yang melubangi beduk di masjid, juga yang sering mencuri barang-barang milik santri yang lain?” Karim saat itu benar-benar seakan mengerahkan seluruh kekuatan pita suaranya. Membentak santri itu, lantang.
            Santri itu hanya kembali melempar pandangan geram pada Karim. Ia belum juga mau bicara dan mengakui kesalahannya.
            “Keplak!”
            Akhirnya, Karim tak lagi kuasa menguasai amarahnya. Sebuah tamparan mendarat di pipi santri itu, beberapa kali. Tapi santri itu tetap tidak mau buka mulut dan mengakui kesalahannya.
            Santri itu sebenarnya masih tergolong baru di pesantren Al-Huda. Baru tiga bulanan ia menjalani hidup di pesantren itu. Tapi pelanggaran yang telah ia lakukan sudah lumayan banyak. Baru dapat satu minggu nyantri, ia sudah kepergok mencuri pakaian dalam santri putri.   
            “Saya hanya ingin saudara jujur!” Karim sedikit menekan suaranya.
Santri itu, tetap dalam keterdiamannya.
            “Sebaiknya santri ini dikeluarkan saja, Kiai.”
            Dengan gejolak amarah yang berusaha Karim kendalikan, ia membawa santri itu menghadap Kiai Abdullah.
            “Ada apa?” sambut Kiai Abdullah penuh karisma.
            “Santri ini maling, Kiai. Ia sering mencuri barang-barang santri, dan juga santri ini ternyata yang melubangi beduk di masjid pesantren, Kiai.” Karim menjelaskan penuh percaya diri.
            “Hati-hati dalam perkataanmu, Karim! Santri itu tidak ada yang maling, tapi kalau maling yang nyantri, ada.”
            Mendengar perkataan Kiai Andullah, wajah Karim terlihat sedikit tersipu. 
            “Tapi santri ini sudah keterlaluan, apa tidak sebaiknya dikeluarkan saja, Kiai?”
            “Apakah itu sudah keputusan terbaik? tanya Kiai Abdullah.
            “Bagaimana tidak, Kiai? Santri ini masih terbilang baru di pesantren ini, tapi sudah berapa pelanggaran yang ia lakukan?” papar Karim, dengan nada meyakinkan.           
Kiai Abdullah hanya menundukkan wajah, dan suasana kala itu seketika hening.
“Kalau memang demikian keputusan terbaiknya, keluarkan saja dari pondok,  dan pindahlah ke rumah!”
            Ikamah untuk salat jamaah Isyak di masjid jamik pesantren Al-Huda baru saja dikumandangkan. Karim masih terlihat mematung dengan wajah tertunduk, ia belum memahami sepenuhnya apa maksud Kiai Abdullah mengizinkan santri itu dikeluarkan, tapi juga memintanya agar dipindah ke rumah Kiai Abdullah.
            Hingga pada suatu hari, di sepertiga malam, kokok ayam mulai bersahutan. Gemercik air santri berwudu, deras menyentuh permukaan tanah. Santri itu hanya bisa pasrah. Ia menginjak 40 hari tinggal bersama Kiai Abdullah. Tiba-tiba ia menerima wasiat melanjutkan kepengasuhan Kiai Abdullah. Santri itu terpilih sebagai menantunya. Padahal, sejauh kebersamaannya bersama Kiai Abdullah, santri itu hanya berniat menebus segala kesalahannya, dengan menyempatkan diri untuk selalu mendampingi Kiai Abdullah ke mana pun beliau pergi. Dan satu hal yang juga tidak kalah istikamah dilakukannya: mengiyakan segala ingin Kiai Abdullah, dan ia juga sangat setia membalikkan sandalnya.    

                                                                        Annuqayah, 2018
Catatan:
(1) Saharul layali (bahasa Arab): bangun malam.
(2) Istayqidzu (bahasa Arab): bangun.
(3) Sur’ah ilal hammam (bahasa Arab): cepatlah ke kamar mandi!
(4) Hisib: kumpulan ayat-ayat al-Qur’an, zikir, doa dan selawat yang disusun dengan tidak menggunakan hawa nafsu yang jelek untuk diamalkan dengan membacanya. Dan bagi yang mengamalkan diyakini memiliki kekuatan dan keutamaan tersendiri.
(5) Ayatul hirzi: suatu amalan yang terdiri dari ayat al-Qur’an yang diyakini apabila diamalkan akan terjaga dari segala gangguan. Atau dikenal dengan ayat-ayat penjagaan.

            *Abd. Wafi, siswa kelas XII MA Tahfidh Annuqayah. Sekaligus santri Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Utara, Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur.