Menjelang Subuh,
lantunan tarhim bergema dari masjid jamik pondok pesantren Al-Huda. Lengking
bel berdering panjang. Pertanda, sudah waktunya para santri bersaharul
layali (1).
“Istaiqidzu, istaiqidzu! (2)”
Karim dan
sekian pengurus pesantren yang lain, dengan sebilah bambu kecil dan senter di
tangannya, mengitari sepanjang deret asrama santri.
“Sur’ah ilal
hammam! (3)”
Hendri salah
satu pengurus bagian takmir dan peribadatan yang bertugas sebagai pemukul
beduk, dikejutkan dengan kondisi beduk yang tiba-tiba bolong. “Masya Allah!”
sergahnya. “Bagaimana bisa? Ini pasti ulah santri.” geram Hendri.
Hanif selaku takmir
yang bertugas sebagai muazin melantunkan azan sedikit lambat dari biasanya,
karena ia menunggu gema beduk bertalu, yang ternyata pagi itu bolong.
Di masjid
jamik pondok pesantren Al-Huda, salat jamaah Subuh berlangsung khusyuk. Kiai
Abdullah selaku pengasuh di pesantren Al-Huda itu, selain hafiz, beliau juga
dijuluki sebagai Kiai pemilik suara Daud, karena setiap beliau lantunkan ayat
al-Qur’an, terutama saat menjadi imam salat, terdengar begitu syahdu, bergetar
menyentuh kalbu, membuat sekujur tubuh merinding.
Terlebih
ketika salat jamaah Subuh, beliau istikamah melantunkan surah al-Qiyamah yang
di dalamnya bercerita tentang kondisi saat menjelang dan berlangsungnya hari
kiamat. Suara merdu Kiai Abdullah akan terdengar sedikit serak dengan diiringi dengung sesenggukan dan derai air mata yang
tak lagi kuasa tertambatkan.
Hendri sengaja
tidak ikut salat jamaah Subuh pagi itu. Ia menemui Karim, selaku pengurus
bagian keamanan. Ia melaporkan peristiwa yang menimpanya pagi itu. “Rupanya ada
santri yang mulai berani membangkang, Ustaz.”
“Ada apa?”
sambut Karim.
“Beduk di masjid,
b-b-bolong, Ustaz.” Hendri menyampaikannya dengan sedikit gugup.
Tidak sedikit memang
orang-orang ketika bicara di
hadapan Karim akan terlihat gugup. Entahlah? Apa mungkin karena Karim adalah
pengurus yang dipercaya sebagai keamanan? Karena menurut ceritanya, santri yang
dipercaya sebagai keamanan di pondok pesantren Al-Huda, apalagi Kiai sendiri
yang memilihnya. Dan memang
suatu kebetulan bagi Karim, ia hanya dapat beberapa hari mondok, langsung
dipercaya sebagai keamanan oleh Kiai Abdullah.
Karim juga mendapatkan
ijazah amalan langsung dari Kiai Abdullah, karena beliau selain terkenal
kemerduan suaranya, beliau juga masyhur dengan ketinggian hisib(4)nya. Dan
Karim adalah satu-satunya santri yang mendapatkan amalan itu. Pantaslah, siapa
pun yang bicara di hadapan Karim, paling tidak mereka akan sedikit kikuk dan
gugup. Begitu pula Hendri, walau secara kedudukan, ia sama-sama pengurus di
pesantren itu.
“Saya akan
selidiki siapa pelakunya.”
“Baik, Ustaz.”
Hendri bergegas meninggalkan Karim.
***
Pagi itu, di masjid
jamik pondok pesantren Al-Huda sedang berlangsung pengajian kitab Riyadus
Shalihin, kitab ini adalah satu-satunya kitab yang diampu langsung oleh Kiai
Abdullah. Dan kitab ini merupakan kitab kesukaan Kiai Abdullah, karena
menurutnya, kitab tersebut adalah kitab yang berisi kumpulan hikmah dan tuntunan
akhlakul karimah sebagaimana yang diperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari Nabi.
Itulah salah
satu alasan kesenangan Kiai Abdullah terhadap kitab yang diampunya itu, bahkan beliau
sudah mengampunya berpuluh-puluh tahun lamanya. Beliau juga sangat istikamah
mengamalkan isinya. Itu terlihat pada keseharian Kiai Abdullah, walau beliau oleh
kebanyakan orang dikenal dengan watak kerasnya, tapi beliau sebenarnya
sangatlah lemah lembut dan sederhana.
Pernah suatu
hari, Kiai Abdullah menghadiri undangan Maulid Nabi. Pada undangan itu, rupanya
bukan hanya Kiai Abdullah yang dari kalangan Kiai. Tapi saat itu berkumpullah
para Kiai besar, dari berbagai pesantren besar. Setelah semua undangan selesai
menunaikan ramah-tamah, Kiai Abdullah tiba-tiba meminta plastik pada tuan rumah
saat itu.
“Ada plastik?”
“Ada, Kiai.”
“Ambilkan
satu!”
Kiai Abdullah
mengemasi sisa-sisa nasi yang tersisa di piring para undangan. Lalu beliau membungkusnya dengan plastik.
“Sisa nasi ini
akan saya bawa pulang, mohon keikhlasannya!”
Para Kiai yang
lain saat itu banyak yang terkagum-kagum. Ada juga yang bersungut-sungut,
karena merasa tersindir dengan apa yang telah dilakukan oleh Kiai Abdullah.
Dalam kesederhanaan
yang lain, yang juga begitu masyhur di kalangan santri dan orang-orang di
sekitar, beliau tidak pernah membeda-bedakan status sesama. Itu terbukti ketika
beliau diundang untuk sebuah hajatan atau dalam kegiatan yang lain, beliau
pasti datang tepat waktu, dan pasti datang paling awal. Dan yang paling
terkesan bagi santri dan orang-orang, beliau sangatlah tawaduk, bahkan pada
yang lebih muda sekalipun.
Bel pertanda
jam pengajian kitab berakhir, lima belas menit lagi akan berdering. Karim masih
mengitari asrama santri, kelihatannya ia sangat marah dengan perbuatan santri
yang dilaporkan Hendri, pengurus bagian takmir itu.
Tepat di depan
kamar blok A satu, pintu kamar tersebut tertutup rapat. Seakan terkunci.
Sementara pintu kamar yang lain, karena saat itu adalah jam kegiatan berlangsung
tentu dalam keadaan terbuka. Karim menghampiri kamar itu, firasat Karim
membenarkan pasti ada santri di dalam. Karim mencoba membuka pintu kamar
tersebut. Terkunci. Karim mengetuknya, beberapa kali. Tidak ada reaksi. Karim terpaksa
mendobraknya.
“Bangun!”
untung saja Karim masih bisa mengendalikan diri, walau sebenarnya ia sangat
emosi.
“Bangun!”
lanjutnya.
“Buaas!” setelah
perintah ketigakalinya, karena santri itu tak kunjung menggubrisnya, Karim
menyambarnya dengan air.
Bel pertanda
pengajian kitab berakhir sudah lima menit yang lalu berdering.
***
Kala itu salat jamaah
Maghrib di masjid jamik pesantren Al-Huda baru saja rampung ditegakkan. Para
santri melanjutkan dengan pembacaan ayatul hirzi (5). Sebuah amalan
rutin di pesantren itu. Sementara di ruang keamanan, Karim sangat dijenuhkan
dengan persoalan santri yang tak kunjung terselesaikan.
“Benarkah
saudara yang bernama Hamid?”
“Benar, Ustaz.”
Wajah Karim terlihat mulai geram.
“Saya hanya ingin saudara jujur,
mohon diakui apa saja kesalahan saudara yang telah dilakukan di pesantren ini?”
Santri itu hanya melempar
pandangannya pada Karim. Ia Memilih diam.
“Apa saudara dengar pertanyaan saya
dari tadi?”
Karim meninggikan
suaranya dan menatap lekat santri itu. Baru santri itu, satu-satunya orang yang
terlihat dengan raut wajah biasa-biasa saja di hadapan Karim. Padahal, Karim
adalah salah satu pengurus bagian keamanan yang sangat disegani di pesantren
Al-Huda. Bahkan terkadang bola mata santri itu diam-diam masih berani melempar
pandangan geram pada wajah Karim.
“Saya hanya ingin saudara jujur. Apa
benar saudara yang melubangi beduk di masjid, juga yang sering mencuri barang-barang
milik santri yang lain?” Karim saat itu benar-benar seakan mengerahkan seluruh
kekuatan pita suaranya. Membentak santri itu, lantang.
Santri itu hanya kembali melempar
pandangan geram pada Karim. Ia belum juga mau bicara dan mengakui kesalahannya.
“Keplak!”
Akhirnya, Karim tak lagi kuasa menguasai
amarahnya. Sebuah tamparan mendarat di pipi santri itu, beberapa kali. Tapi
santri itu tetap tidak mau buka mulut dan mengakui kesalahannya.
Santri itu sebenarnya masih
tergolong baru di pesantren Al-Huda. Baru tiga bulanan ia menjalani hidup di
pesantren itu. Tapi pelanggaran yang telah ia lakukan sudah lumayan banyak.
Baru dapat satu minggu nyantri, ia sudah kepergok mencuri pakaian dalam santri
putri.
“Saya hanya ingin saudara jujur!” Karim sedikit menekan suaranya.
Santri itu,
tetap dalam keterdiamannya.
“Sebaiknya santri ini dikeluarkan
saja, Kiai.”
Dengan gejolak amarah yang berusaha
Karim kendalikan, ia membawa santri itu menghadap Kiai Abdullah.
“Ada apa?” sambut Kiai Abdullah
penuh karisma.
“Santri ini maling, Kiai. Ia sering mencuri
barang-barang santri, dan juga santri ini ternyata yang melubangi beduk di
masjid pesantren, Kiai.” Karim menjelaskan penuh percaya diri.
“Hati-hati dalam perkataanmu, Karim!
Santri itu tidak ada yang maling, tapi kalau maling yang nyantri, ada.”
Mendengar perkataan Kiai Andullah,
wajah Karim terlihat sedikit tersipu.
“Tapi santri ini sudah keterlaluan,
apa tidak sebaiknya dikeluarkan saja, Kiai?”
“Apakah itu sudah keputusan terbaik?
tanya Kiai Abdullah.
“Bagaimana tidak, Kiai? Santri ini
masih terbilang baru di pesantren ini, tapi sudah berapa pelanggaran yang ia
lakukan?” papar Karim, dengan nada meyakinkan.
Kiai Abdullah
hanya menundukkan wajah, dan suasana kala itu seketika hening.
“Kalau memang demikian
keputusan terbaiknya, keluarkan saja dari pondok, dan pindahlah ke rumah!”
Ikamah untuk salat jamaah Isyak di
masjid jamik pesantren Al-Huda baru saja dikumandangkan. Karim masih terlihat mematung
dengan wajah tertunduk, ia belum memahami sepenuhnya apa maksud Kiai Abdullah mengizinkan
santri itu dikeluarkan, tapi juga memintanya agar dipindah ke rumah Kiai
Abdullah.
Hingga pada suatu hari, di sepertiga
malam, kokok ayam mulai bersahutan. Gemercik air santri berwudu, deras
menyentuh permukaan tanah. Santri itu hanya bisa pasrah. Ia menginjak 40 hari
tinggal bersama Kiai Abdullah. Tiba-tiba ia menerima
wasiat melanjutkan kepengasuhan Kiai Abdullah. Santri itu terpilih sebagai
menantunya. Padahal, sejauh kebersamaannya bersama Kiai Abdullah, santri itu
hanya berniat menebus segala kesalahannya, dengan menyempatkan diri untuk
selalu mendampingi Kiai Abdullah ke mana pun beliau pergi. Dan satu hal yang juga
tidak kalah istikamah dilakukannya: mengiyakan segala ingin Kiai Abdullah, dan ia
juga sangat setia membalikkan sandalnya.
Annuqayah, 2018
Catatan:
(1) Saharul
layali (bahasa Arab): bangun malam.
(2) Istayqidzu
(bahasa Arab): bangun.
(3) Sur’ah
ilal hammam (bahasa Arab): cepatlah ke kamar mandi!
(4) Hisib:
kumpulan ayat-ayat al-Qur’an, zikir, doa dan selawat yang disusun dengan tidak
menggunakan hawa nafsu yang jelek untuk diamalkan dengan membacanya. Dan bagi yang
mengamalkan diyakini memiliki kekuatan dan keutamaan tersendiri.
(5) Ayatul
hirzi: suatu amalan yang terdiri dari ayat al-Qur’an yang diyakini apabila
diamalkan akan terjaga dari segala gangguan. Atau dikenal dengan ayat-ayat
penjagaan.
*Abd. Wafi,
siswa kelas XII MA Tahfidh Annuqayah. Sekaligus santri Pondok Pesantren
Annuqayah Lubangsa Utara, Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur.
Sangat baik untuk bahan bacaan
BalasHapusTerima kasih...
HapusSemanagat kawan
BalasHapusKembangkan....
Insya Allah...
HapusMari sama-sama belajar dan berjuang...
Sip daaaah
BalasHapusWawww sederhana tapi menarik...
BalasHapusMenarik, sip dahh
BalasHapusSangat menarik....
HapusSiep jempol dah
BalasHapusSip,kembangkan....
BalasHapusSip,kembangkan....
BalasHapusLuar biasa. Kembangkan
BalasHapusmenarik sekali.. sippss
BalasHapusmenarik sekali.. sippss
BalasHapusLuar biasa. Kembangkan
BalasHapusTop markotop
BalasHapusBagus....
BalasHapusSalam Literasi
Siiip
BalasHapusKembangkan
Mohon doanya teman2 sekalian...
BalasHapusDan terima kash atas sgl apresiasinyaa...